Renungan Hari Minggu Biasa V / A
Yes 58:7-10 ; 1Kor 2:1-5 ; Mat 5:13-16
Masih segar di ingatan kita tahun lalu, umat katolik Indonesia berbondong-bondong pergi ke bioskop-bioskop untuk menonton film “Soegija”. Ada apa? Hanya sekedar anjuran? Ataukah memang ada nilai-nilai kekatolikan yang ditawarkan? Dalam film itu, digambarkan bahwa Mgr. Soegija berusaha tetap hadir bersama umatnya yang dicabik-cabik penderitaan akibat perjuangan menuju kemerdekaan. Ada pula tokoh lain dalam film itu, seorang perempuan dari etnis Cina yang merasakan langsung penderitaan terpisah dari keluarga yang ia cintai, namun toh pada akhirnya menemukannya kembali dalam sujud syukur di sebuah gereja. Ada pula pamong desa yang beragama katolik sibuk mengatur dan menyiapkan perbekalan makanan bagi para pejuang dan para pengungsi. Mereka menghayati iman kekatolikannya sekaligus identitas ke-Indonesia-annya yang ingin lepas dari segala belenggu penjajahan. 100% Katolik, 100% Indonesia. Gereja Katolik di Indonesia waktu itu menunjukkan sikap yang tegas, yakni hadir dan hidup bersama pergumulan bangsa Indonesia. Sikap inilah yang juga dihidupi oleh Gereja sampai sekarang.
Dalam injil hari Minggu Biasa V ini, Yesus menunjukkan jatidiri para pengikutNya sebagai garam dan terang dunia. Pemahaman garam dan terang yang dimaksud tak pernah lepas dari pemahaman bangsa Yahudi karena injil Matius pertama-tama ditulis untuk jemaat Kristen Yahudi.
Garam memberi rasa pada masakan sehingga masakan tidak menjadi hambar. Dalam tradisi Yudaisme, garam itu simbol kebijaksanaan Ilahi. Hanya kebijaksanaan Ilahilah yang menjadi dasar setiap tindakan bangsa Israel. Jika bangsa Israel harus bersikap adil, tindakan adil mereka harus bercermin pada Allah yang adil kepada mereka. Jika bangsa Israel harus mengabdi pada sesama, tindakan mengabdi sesama itu bercermin pada sikap Allah yang terus menerus menginginkan manusia bahagia dan selamat.
Israel pun memiliki pengalaman suka dan duka yang panjang tentang Allah sebagai terang. Ketika mereka keluar dari Mesir, pada malam hari mereka dibimbing dan diterangi oleh Allah dalam tiang api. Terang benar-benar menjadi simbol kehadiran Allah di tengah bahaya kegelapan. Tiang api itu dilihat oleh seluruh rombongan besar, tidak tersembunyi sedikit pun.
Dalam injil ini, Yesus tegas mengatakan,”Kamu adalah garam; kamu adalah terang dunia.” Tidak ada alternatif lain. Karena itu, pengikut Kristus hendaknya hidup dalam kebijaksanaan ilahi dan menampakkan kehadiran Allah dalam setiap tindakan. Ketika situasi hidup diliputi kecemasan, ketakutan, kegentaran akibat perjuangan menuju kemerdekaan, Soegija dan umatnya menjadi bijak untuk membawa pengharapan dan daya kekuatan untuk terus berjuang. Ketika hidup terhimpit oleh penganiayaan kolonial, mereka pun menjadi terang ilahi bagi sesama yang membutuhkan peneguhan dan kedamaian hati. Bukankah situasi hidup kita sekarang tak pernah lepas dari bentuk-bentuk penderitaan dan kejahatan yang sama?
Pada seruan berikutnya, Yesus mengingatkan kita akan bahaya bahwa garam bisa menjadi hambar dan terang hanya untuk dinikmati sendiri (baca: menyalakan pelita lalu diletakkan di bawah gantang). Jelas sekali bahwa bukan seperti itu para pengikut Kristus yang sejati. Inilah sebenarnya pokok persoalan kita bersama. Menjadi garam dan terang dunia itu sudah pasti. Akan tetapi, bagaimana tetap menjadi garam dan terang dunia itulah persoalan kita. Karena itu, supaya garam tetap garam dan terang tetap terang, para pengikut tidak boleh lepas dari model yang diikutinya, yakni Kristus sendiri. Tepat pada sisi inilah, Yesus sebenarnya menginginkan kita terus menerus dekat denganNya dan menimba air dan roti kehidupan dariNya. Kristuslah Kebijaksanaan dan Terang Ilahi yang menyertai perjalanan hidup manusia.***
Dikutip dari : Warta Paroki No. 6 Tahun VII - Aloysius Widyawan, Pr