Renungan Hari Minggu Biasa XXXIII / C
2Mal 4:1-2a ; 2Tes 3:7-12 ; Luk 21:5-19
“Apa yang harus saya lakukan, Romo? Apakah mungkin saya dapat terus bertahan tanpa harapan yang pasti seperti sekarang ini. Apakah capek itu dosa?” Saya terpekur dan terdiam. Waktu itu, seorang kawan lama baru saja bercerita tentang krisis iman di antara berbagai pilihan-pilihan hidup yang harus ia ambil seputar pasangan hidup, promosi pekerjaan, penderitaan, dsb. Tekanan datang menghimpit dari segala penjuru. Imannya yang baru tumbuh berkembang dibuat gelap seketika oleh berbagai persoalan yang menghimpitnya. Berbagai bentuk doa, matiraga, dan aktivitas lain seperti tanpa hasil. Mengapa Tuhan tidak mengganjar orang yang beriman dengan segala keindahan dan kemegahan yang benar-benar nyata? Kok malah semakin besar badai yang menghantam hidup? Sekali lagi, terngiang di telinga saya, “Apakah capek itu dosa?”
Injil Hari Minggu Biasa XXXIII ini memberi gambaran betapa beratnya menjadi orang beriman di tengah berbagai macam tekanan dari luar. Lukas sendiri menulis Injilnya untuk umat Kristen Perdana, khususnya mereka yang bukan dari kalangan bangsa Yahudi. Karena iman, mereka mendapatkan banyak tekanan dari orang-orang Yahudi dan dari kekuasaan Romawi. Mereka dipaksa untuk mengingkari imannya. Paksaan dan tekanan itu selalu disertai dengan kekerasan, tuduhan palsu, penyitaan harta, pelanggaran hak-hak sebagai warga negara yang sah, bahkan pembunuhan keji. Dalam situasi itu, Injil yang ditulis oleh Lukas ini ingin benar-benar menjadi kabar sukacita bagi mereka yang berada dalam tekanan dan ancaman. Inijl menjadi kabar sukacita yang meneguhkan, memberi pengharapan, dan tetap terus berani memberi kesaksian. Tentu saja, dasarnya adalah Yesus Kristus, yang digambarkan Lukas sebagai Sang Penyembuh, Penyelamat, Penghibur, dan Pemberi Harapan. Di tengah penderitaan dan penganiayaan, Yesus berkata,
“...kamu akan ditangkap dan dianiaya... oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu (Lk 21:12-15)”
Apakah injil ini adalah jawaban dari semua persoalan yang dilontarkan oleh seorang kawan lama tadi? Bukankah tekanan dan ancaman masih tetap ada? Bukankah lebih mudah menukar iman dengan kemegahan? Atau bukankah lebih nikmat hidup di dua muka bertolak belakang: tetap bisa beribadat, berdoa, kolekte, menerima sakramen-sakramen, tapi tutup mata dan nurani dari tuntutan praksis iman untuk jujur, adil, mau mengampuni, berbelas kasih di dalam pekerjaan atau hidup sehari-hari?
Yang jelas, Injil hari ini mengajak kita untuk tidak lari dari segala tekanan dengan mengambil jalan pintas mengingkari iman atau melepaskan tuntutan-tuntutan praksis iman hanya untuk mencari pelepasan sesaat. Iman itu gerak batin yang hidup, bukan yang statis, mati, atau bahkan sudah tuntas. Iman akan terus menerus dimurnikan dan didewasakan dalam berbagai persoalan hidup. Iman yang sejati akan memampukan kita tetap menaruh harapan meskipun fisik, nalar, perasaan sudah capek dan air mata pun sudah kering untuk melihat harapan. Iman dan harapan inilah yang menghidupi dan menyertai perjalanan Gereja sepanjang sejarah, begitu pula hidup orang per orang. Karena keduanya, masih ada kasih yang mengalir dari kesaksian orang-orang beriman. Untuk itulah, Yesus mengatakan bahwa segala pengalaman yang pahit pun menjadi kesempatan bagi kita untuk bersaksi. Bersaksi tentang apa? Bersaksi tentang masih adanya harapan atas dasar iman dan kasih.
Dengan kesaksiannya, Injil Lukas seolah ingin berkata,“Jangan kehilangan harapan, sobat! Nyalakan api harapan itu di atas pelita iman, dan teruslah melumurinya dengan minyak kasih tanpa syarat! Niscaya, segalanya berujung pada hidup yang memang harus terus diperjuangkan. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.”
Oleh : Romo Aloysius Widyawan, Pr - Warta Paroki No. 46 Tahun VI